Ketika Iman Diuji di Zaman Edan

Posted by : wartaidaman 19/06/2025

 

Oleh: Juwahir, S.Pd.I
Guru PAI SDN Makasar 01 Pagi

 

“Zaman edan.” Begitulah sebagian orang menggambarkan masa kini: dunia di mana kebenaran kadang tak punya suara, dan keimanan mudah tergadai oleh cinta, uang, atau kekuasaan. Kita hidup di zaman ketika orang bisa berpindah keyakinan hanya karena urusan asmara. Tak sedikit pula yang menanggalkan iman demi tekanan ekonomi, tawaran karier, atau bahkan untuk sekadar merasa diterima dalam lingkaran sosial.

Fenomena semacam ini bukan hal baru dalam sejarah keimanan. Al-Qur’an mencatat kisah tentang sekelompok orang beriman yang dibakar hidup-hidup hanya karena mereka percaya kepada Allah Yang Maha Perkasa. Mereka dikenal sebagai Ashhab al-Ukhdud, para penghuni parit, yang disebut dalam Surah Al-Buruj ayat 4–9.

Mereka bukan orang-orang berdosa, bukan pemberontak, bukan pelaku kriminal. Satu-satunya “kesalahan” mereka adalah: beriman. Mereka tidak menyakiti siapa pun, tidak mengganggu sistem pemerintahan, tidak pula menghasut kerusuhan. Tapi karena keimanan mereka dianggap ancaman, mereka dibakar dalam kobaran api yang dinyalakan oleh penguasa zalim.

Ironis, bukan? Orang yang mencintai Tuhan justru dibenci oleh manusia.

Jika kita telaah riwayat-riwayat tafsir, seperti yang dijelaskan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Imam Al-Qurthubi, kisah tragis ini bermula dari seorang pemuda beriman yang berani melawan arus. Ia belajar agama secara diam-diam, padahal disiapkan untuk menjadi pewaris ilmu sihir kerajaan. Namun ketika Allah menunjukkan kebenaran melalui doanya yang mampu membunuh binatang buas, ia memilih jalan keimanan. Jalan yang berisiko, penuh tekanan, bahkan ancaman nyawa.

Pemuda ini bukan hanya bertahan. Ia justru berdakwah. Ia menyembuhkan orang sakit, termasuk menteri kerajaan, dan mengajak mereka beriman. Ketika sang raja murka dan membunuh para pengikutnya, ia pun tak lari. Bahkan ia sendiri memberikan “resep” untuk membunuhnya: panahlah aku dengan menyebut nama Tuhanku, agar semua tahu bahwa kematian ini bukan karena kekuasaanmu, tetapi karena izin-Nya.

Dan benar saja, rakyat yang menyaksikan justru beriman semuanya. Kemarahan raja pun memuncak. Parit besar digali, api dinyalakan, dan siapa pun yang bertahan dengan imannya dilempar ke dalamnya. Termasuk seorang ibu yang hampir menyerah, hingga bayinya yang masih menyusu menyemangatinya dengan kalimat ajaib: “Wahai Ibu, bersabarlah. Engkau berada di jalan yang benar.”

Membaca kisah ini, saya merasa seperti ditampar oleh realitas zaman. Apakah kita sanggup menjadi seperti mereka—yang menjaga iman bahkan hingga titik darah penghabisan?

Hari ini, kita belum dilempar ke dalam api. Tapi banyak yang perlahan “terbakar” oleh godaan dunia: oleh pasangan yang mengajak keluar dari Islam, oleh pekerjaan yang memaksa melepas prinsip, oleh gaya hidup yang menyingkirkan nilai-nilai ilahiah.

Berapa banyak orang tua yang kehilangan arah dalam mendidik anaknya karena takut disebut kolot? Berapa banyak remaja yang ragu beribadah karena takut dianggap aneh oleh teman-temannya? Bukankah ini bentuk ujian iman juga, meski tak berbentuk kobaran api?

Kisah Ashhab al-Ukhdud bukan dongeng. Ia adalah cermin. Cermin yang menantang kita untuk bertanya: Apakah keimanan kita hari ini hanya sekuat status media sosial, atau sekuat iman seorang pemuda yang menolak tunduk pada kekuasaan yang menyesatkan?

Kita boleh hidup di zaman edan. Tapi kita tak boleh ikut edan. Karena orang yang waras di zaman edan, seperti kata pujangga Jawa, justru dialah yang sakti yang kuat.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bertahan dalam iman, di tengah dunia yang menggoda untuk mengingkarinya.

 

 

*anwi/ pjmi/ wi/ nf/ 190625

Views: 9

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *