
WARTAIDAMAN.com
Telinga merupakan salah satu panca indera dengan fungsi pendengarannya termasuk salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada manusia. Hadirnya pendengaran membuat kita bisa mengindra aneka jenis suara, mulai dari suara manusia: laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak kecil atau bayi yang baru dilahirkan, beragam suara binatang embusan angin, dan aneka suara di alam semesta. Dengan normalnya fungsi pendengaran, hidup kita pun menjadi penuh warna.
Telinga dengan fungsi pendengarannya pun harus dijaga sedemikian rupa agar tidak membawa rnanusia pada kecelakaan. Ya, karena pendengaran termasuk gerbang bagi hadirnya informasi yang akan menentukan kualitas akhlak kita, baik ataukah buruk. Ini artinya, kita tidak boleh sembarangan mendengar. Kita harus sangat terampil dalam memilah dan memilih mana suara yang boleh masuk ke telinga dan mana yang tidak boleh. Organ pendengaran atau telinga merupakan panca indera yang pertama kali berfungsi sejak bayi dilahirkan. Hal ini terinspirasi dan termotivasi dari firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An Nahl: 78.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Dari ayat ini, satu dari sekian hikmah yang dapat kita petik ialah menjaga keadaan telinga agar tetap mampu menjalankan fungsinya dengan sempurna, dengan baik, hingga tutup usia. Penjagaan dan perawatan telinga di dalam Islam tak hanya secara fisik semata. Secara ruhiyah pun menjadi bagian yang tak boleh dinomorduakan, bahkan harus diutamakan. Imam al-Ghazali pun memberi nasihat, “Hendaknya engkau menjaga telinga. Jangan dengarkan perkara yang dapat menimbulkan fitnah, pembahasan hal ikhwal orang lain yang negatif, kata-kata jelek, perbincangan batil, atau bahasan tentang kejelekan-kejelekan orang lain”. Maka hendaklah bagi siapa saja yang Allah Subhanahu wa Ta‘ala karuniakan telinga sempurna, bersyukur atasnya.
Lantas bagaimana cara mensyukuri nikmat telinga pendengaran itu ? Di antara nikmat yang kerap kita abaikan kesyukurannya adalah telinga.
سئل أبو حازم: ما شكر العينين؟ قال: إذا رأيت بهما خيراً أذعته. وإذا رأيت بهما شراً سترته وسئل: ما شكر الأذنين؟ قال: إذا سمعت بهما خيراً حفظته. وإذا سمعت بهما شراً نسيته
Suatu hari al-Imam Abu Hazim (Salamah bin Dinar) ditanya, “Bagaimana cara mensyukuri kedua mata?” Beliau menjawab, “Apabila melihat kebaikan maka kamu menyebarkannya. Dan bila melihat kejelekan maka kamu menutupinya.”
Beliau ditanya lagi, “Lalu bagaimana cara mensyukuri kedua telinga?” Beliau menjawab, “Apabila mendengar kebaikan maka kamu mengingatnya. Dan bila mendengar keburukan maka kamu melupakannya.”
Jawaban al-Imam Abu Hazim pastilah membuat kita merasa diri (muhasabah), jangan-jangan selama ini kedua mata dan telinga telah kita kufuri. Begitulah, memang tidak banyak manusia yang mau bersyukur. Allah Swt telah berfirman,
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)
Oleh karena itu, jagalah telinga dari mendengar hal-hal yang dapat mengundang perbuatan dosa dan maksiat seperti ghibah, juga mendengarkan pembicaraan yang batil dan sebagainya. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dosa semisal ghibah itu tidak hanya dikenakan kepada orang yang membicarakan kejelekan orang lain namun juga dikenakan kepada orang yang mendengarkannya. Penyair berkata :
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْح :: كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِه فَإِنَّكَ عِندَ سَماعِ القَبِيْح :: شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
jagalah pendengaranmu dari mendengarkan kejelekan sebagaimana engkau menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu. Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan, itu artinya engkau telah berserikat dengan orang yang mengucapkannya (dalam dosanya), maka waspadalah. [Tafsir As-Shawi]
Boleh jadi ada yang bertanya-tanya, “mengapa orang yang hanya mendengarkan mendapat dosa padahal ia tidak melakukan apa-apa?” Ya, benar ia hanya mendengar dan dengan demikian ia berserikat dalam kejelekan. Bayangkan jika ada orang yang ngomong kejelekan namun tidak ada yang mendengarkan, bukankah orang yang ngomong akan berhenti dari berbicara kejelekan? Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, Nabi SAW bersabda:
ومَنْ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الْآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang menguping pembicaraan suatu kaum, sementara mereka membenci hal itu atau lari darinya (agar tidak didengar orang lain), niscaya akan dituangkan timah panas ke telinganya di hari kiamat. [HR Bukhari]
Sudah semestinya, orang yang mendengarkan kejelekan tersebut ia melarangnya dan menasehatinya sebab jika tidak demikian boleh jadi orang yang mendengar itu senang terhadap perkataan jelek tersebut. Sebagaimana kaidah :
إِنَّ الرِّضَا بِالْمَعْصِيَّةِ مَعْصِيَّةٌ
Sesungguhnya ridla terhadap satu maksiat adalah perbuatan maksiat [Al-Jami Li Ahkamil Qur’an]
Sungguh beruntung orang-orang yang mensyukuri nikmat pendengarannya dengan menjaganya dari mendengarkan perkataan maksiat, Mereka dirindukan oleh Allah swt sehingga dalam hadits qudsy Allah berfirman :
أَينَ الَّذينَ كانوا يُنَزِّهونَ أَسماعَهُم عَن الخَنا أُسمِعهُم اليَومَ حَمدي وَالثَناءَ عَلَيَّ
Mana orang-orang yang mensucikan pendengaran mereka dari perkataan jelek hari ini aku akan memperdengarkan pujian atasku [Abul Barakat, Adabul Usyrah]
Namun alih-alih bersyukur, Justru banyak sekali yang menyalah gunakan pendengaran sebagai sarana bermaksiat. Ingatlah bahwa pendengaran itu akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Allah swt berfirman :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلا
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggung jawaban)” [Al-Isra’: 36]
Maka dari itu perbanyaklah doa yang diajarkan oleh Rasul SAW agar kita dijauhkan dari kejelekan pendengaran.
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي ، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي ، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي ، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي ، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّيْ
Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelekan pada pendengaranku, dari kejelekan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelekan dari kemaluanku [HR Abu Daud]
Allah Ta’ala menganugerahkan tujuh lubang di kepala: dua lubang telinga, dua lubang di mata, dua lubang hidung, dan satu lubang mulut. Mulut adalah lubang terbesar. Apa artinya? Berpikir harus lebih banyak daripada berbicara; enam input dengan satu output. Kumpulkan input melalui mata, telinga, dan pembau, lalu fokuskan untuk menghasilkan kata-kata berkualitas melalui mulut.
*edvj/ pjmi gl/ wi/ nf/ 010625
Views: 13