
WARTAIDAMAN.com
Luruihlah jalan Payakumbuah
Babelok jalan Kayu Jati
Dima hati indak kan rusuah
Ayam den lapeh, ohoi … ayam den lapeh
Mandaki jalan Pandaisikek
Manurun jalan ka Biaro
Di ma hati indak maupek Awak takicuah, ohoi … ayam den lapeh
Sikua capang sikua capeh
Sikua tabang sikua lapeh
Tabanglah juo nan karimbo Ai lah malang juo
Pagaruyuang jo Batusangka
Tampek mandaki dek urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta Oi takana juo
Den sangko lamang nasi tuai
Kironyo tatumpah kuah gulai
Awak ka pasa alah usai Oi lah malang denai O hoi … ayam den lapeh O hoi … ayam den lapeh
Suara musik di bus ANS yang dinaiki Satria Pratama, membangunkannya. Begitu bangun Satria, tidak tahu sudah sampai di daerah mana Bus ANS itu membawanya bertualang ke Sumatera.
Dari Pelabuhan Merak Satria Pratama mencoba membaca Buku “Mande Aku Pulang” hadiah dari ertece via Andri Sipil, sampai Satria terlelap.
Tiba-tiba Satria merasa ketakutan melihat sekeliling, kanan kiri jalan yang dilewati bus itu tidak ada lampu, semuanya gelap. Satria hanya merasa jalannya mendaki, berbelok-belok. Namun ada yang setengah berbisik pada penumpang sebelahnya, kebetulan Satria duduk satu baris di belakang orang itu:
“Baru lepas dari Lahat, menuju Tebing Tinggi.”
‘Tebing Tinggi, masih hutan jugakah, itu.’ pikir Satria. Rasa takut Satria kembali menjangkiti, Satria takut pada harimau.
Konon harimau Sumatra ada yang suka makan manusia. Dalam buku “Mande Aku Pulang”, karangan pak Iskandar Zulkarnain yang sempat dibaca Satria juga ada cerita mengenai harimau yang suka makan manusia ini.
Bergidik badan Satria berpikir bagaimana kalau nanti di Istana Langit Timur Satria harus ketemu harimau. Satria segera tayamun ingat belum jamak qashar. Sehabis jamak takhir, tiba-tiba jantung Satria berdebar, seperti ada aliran listrik yang menyengat.
“Tebing Tinggi habis. Tebing Tinggi habis!” teriak kernet bus ANS yang ditumpaki Satria Pratama.
Eh. Ada Kota. Sudah ada lampu. Setelah menurunkan satu dua penumpang, Bus ANS itu melanjutkan perjalanannya. Lagi-lagi penumpang di depan Satria berbisik kepada penumpang sebelahnya:
“Kini kita menuju Lubuk Linggau.”
‘Lubuk Linggau apalagi tuh.’ pikir Satria.
Tapi sengatan aliran listrik yang menyerang Satria Pratama tambah sering. Satria heran dibuatnya.
‘Ada apa ini?’
Satria Pratama tidak sadar kalau dirinya sedang dipantau Setrum 35000 megawatt Adhieyasa Adhieyasa. Domisili Adhieyasa Adhieyasa masih jauh tetapi sengatan Setrum 35000 megawattnya sudah dirasakan Satria Pratama, tanpa disadarinya.
“Yang mau ke toilet, makan silahkan. Ada waktu satu jam kita istirahat di sini. Sarolangon Jambi.” suara kernet Bus ANS itu membangunkan kembali Satria dari tidurnya.
Satria turun ke arah kanan bus, kemudian mencari tahu arah toilet, ternyata ada di sebelah kiri warung makan, tempat Satria tegak di depannya. Airnya bersih.
‘Lumayan nih. Wah bahkan ada juga yang mandi tuh. Beberpa penumpang bus lain, ada yang ke luar masuk membawa handuk dan tas kecil.’ Satria berpikir,’boleh juga nih. Biar saja malam-malam, hari sudah hampir menjelang subuh juga.
Mudah-mudahan kalau ramai begini, harimau Sumatera itu tidak ada.’
Selesai bersih-bersih, Satria kemudian makan nasi rames, minum teh panas. Sengatan listrik itu makin kuat saja.
Setelah para penumpang masuk semua ke dalam Bus ANS itu, bus langsung tancap gas melaju. Satria agak tegak sambil melihat ke depan, tampak oleh Satria jalan panjang lurus ke depan.
Mungkin karena kekenyangan mata Satria mulai mengantuk lagi.
“Bungo habis. Muara Bungo habis!” teriak kernet Bus ANS, membangunkan lagi Satria dari tidurnya.
Hari sudah terang, Satria mencoba membuka Buku “Mande Aku Pulang” lagi. Satria tidak tahu sudah sampai di mana, Satria hanya sedikit heran, mengapa serangan sengatan listrik itu tidak muncul lagi. Satria tidak tahu kalau ternyata hari itu Adhieyasa Adhieyasa sedang pergi ke Pekanbaru. Jadi semakin menjauh dari posisi Satria.
Tanpa disadari Satria, perjalanan pun sudah sampai di Danau Singkarak. Jalan yang dilalui Bus ANS menyusuri tepian Danau Singkarak, salah satu Danau besar dan indah di bumi Sumatera.
Luruihlah jalan Payakumbuah
Babelok jalan Kayu Jati
Tiba-tiba lagu itu terdengar lagi. Satria seperti tersadar, ditutupnya Buku “Mandeh Aku Pulang”, lalu dilhatnya ke samping kiri.
Tampak oleh Satria sebuah danau besar, sampai sudah cukup lama Bus ANS itu berjalan, masih juga berada di tepian Danau. Kelihatannya Bus ANS itu berjalan agak lambat. Satria tayamum lagi.
Danau! Tiba-tiba Satria teringat pesan Andri Sipil, jika sudah sampai di danau besar, Istana Langit Timur itu tidak begitu jauh lagi. Tunggu sampai Bus ANS itu berhenti. Itulah pemberhentian terakhir Bus ANS, Satria harus turun. Itulah Kota letak Istana Langit Timur berada.
“Istana Langit Timur, ambo indak tahu kalo itu. Tapi kalo mau ambo, antar ke Jam Gadang, Gua Jepang bisa.” kata orang yang mendekati Satria Pratama begitu turun dari Bus ANS.
Ini pemberhentian terakhir. Semua penumpang harus turun. Satra memandang ke kanan ke kiri. Kota ini ramai, udaranya sejuk. Bagus juga kalau mencoba jalan kaki. Tapi sudah berapa hari Satria berjalan. Walaupun hanya duduk di dalam bus, rasanya capek juga kalau harus jalan kaki mencari Istana Langit Timur. Bagus juga kalau ke Jam Gadang, lalu ke Goa Jepang.
‘Kota apa ini ya?’ pikir Satria.
“Bukit Tinggi yuang. Bagaimana jadi ambo antar ke mana yuang?” seru orang yang mendekati Bandol.
“Ke Jam Gadang, lalu ke Goa Jepang, Bang!” jawab Bandol.
Bandol adalah nama panggilan Satria Pratama di kampung kelahirannya
BACA:
Sensasi Satria Pratama: Bandol Ditolak Masuk Istana
BACA JUGA:
Sensasi Satria Pratama: Bandol Terseret Reklamasi
Sensasi Satria Pratama: Bandol Hilang Ditelan Bumi
Sensasi Satria Pratama: Bandol Ogah Jadi Cyber Army
Sensasi Satria Pratama: Telepon Bandol Disadap
Sensasi Satria Pratama: Bandol Diundang ke Istana Langit Timur
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 160725
Views: 57
Selamat mengembara