MENANTI ISRAEL LEMPAR HANDUK: MUNGKINKAH?

Posted by : wartaidaman 04/07/2025
 
WARTAIDAMAN.com   

 

 

Oleh Agus Wahid

 

Jepang langsung menyerah. Mengakhiri penjajahannya di berbagai wilayah Asia. Itulah peristiwa politik pasca dua kota Jepang (Nagasaki dan Horoshima) dibom atom oleh Sekutu pada 6 dan 9 Agustus 1945. Bagaimana dengan Israel yang sudah dibombardir Iran secara massif? Adakah negeri Zionis itu akan segera lempar handuk (menyerah)?

Israel bukanlah Jepang. Jepang memahami dan menyadari risiko besar bagi negara dan bangsanya jika tetap melawan Sekutu. Akan semakin hancur dan – bisa jadi – punah teritorial negaranya, juga rakyatnya. Maka, atas nama kepentingan bangsa dan eksistensi negaranya, Kaisar Horohito menyatakan menyerah. Sebuah sikap dan tindakan yang jauh lebih menyelamatkan. Sarat dengan dimensi kemanusiaan, patriotisme dan nasionalisme yang dikedepankan. Santat futuristik pandangannya.

Sementara, Israel beda prinsipnya: emang gue pikirin rakyat. Masalah teritorial pun masih terdapat kemungkinan dicari penggantinya. Itulah karakter dasar manusia Yahudi, apalagi Zionis, yang arogan, culas dan sederet karakter “iblis” lainnya yang menyatu dalam diri bangsa Zionis itu.

Maka, menyaksikan penggempuran Iran yang memporakpadakan berbagai belahan negeri Israel dipandang hanya sebagai risiko logis berperang. Para petinggi Israel tak peduli dengan pemandangan hancurnya gedung-gedung megah yang kini berubah menjadi puing-puing yang berserakan di berbagai kota atau wilayah di Israel. Daerah strategis militer Israel, Kirya (seperti Pentagon di AS) pun hancur. Maka, dari sisi militer, Israel telah kehilangan basis pertahanan yang diandalkan.

Kita saksikan, serangan Iran yang sangat ofensif itu belum menggerakkan Netanyahu untuk menunjukkan sinyal menyerah. Dengan diselimuti hati sombongnya, Netanyahu hanya memohon kesediaan Iran untuk berunding: gencatan senjata. Sementara, Iran berprinsip: tak ada genjatan senjata tanpa kemerdekaan Palestina. Sulit dicapai titik temu.

Karena itu, Iran terus mengirim rudal-rudal balistik dan hypersonicnya ke wilayah Israel. Sekali lagi, rakyat Israel yang berhamburan menyelamatkan diri ke daerah pegunungan dan bahkan ke luar negeri tidak dilihat sebagaimana mestinya. Dalam hal ini Netanyahu sama persis dengan para perdana menteri pendahulunya seperti Ariel Sharon, Yitzak Shamir, Yitzak Rabin, Golda Meir yang tak pernah mempertimbangkan masalah kemanusiaan.

Jangankan nasib bangsa Palestina, anak bangsanya sendiri pun tidak dilihat. Di mata para tokoh Zionis itu, “Palestina tak ada”. Kalimat yang pernah ditegaskan Perdana Menteri pertama Israel, Golda Meir, pada 1948 ini menggariskan sikap politik luar negerinya: sepanjang masih ada perjuangan for Palestine, maka harus dimusnahkan, tidak hanya dengan senjata, tapi juga kekuatan politik diplomatiknya.

Menggarisbawahi pendirian politik manusia-manusia Zionis itu, maka kecil kemungkinannya Israel saat ini akan melemparkan handuk sebagai tanda menyerah, apalagi salah satu prasyarat yang ditawarkan Iran adalah menarik seluruh pasukannya dari wilayah administratif Palestina saat ini. Dan hal menjadi pintu masuk untuk Palestina menyatakan kemerdekaannya.

Untuk itu tak ada opsi lain bagi Iran: lanjutkan perang total terhadap Israel. Iran tak perlu ragu. Di satu sisi, Iran diback up penuh oleh negara-negara pemiliki nuklir seperti Korea Utara, Rusia, China dan Pakistan. Sementara, di forum politik international, Iran juga diback up seluruh negara-negara Islam, termasuk sebagian besar negara-negara Arab. Kekompakan negara-negara Islam dan Arab saat ini merupakan sejarah teramat penting. Baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah pasca Israel berdiri (14 Mei 1948).

Kini, Iran tidak hanya harus meratakan wilayah perkotaan, tapi juga wilayah pemasok logistik pangan. Saat ini sebagian besar warga Israel – meski hidup di tengah reruntuhan puing-puing – tapi masih bisa bernafas. Bisa makan-minum. Karena, pasokan pangan masih tersedia.

Karena itu, wilayah pertanian sebagai basis pemasok pangan haruslah juga menjadi incaran drone yang mematikan daerah-daerah pertaniannya. Menurut catatan Artificial Intelligence, daerah pertanian Israel sekitar 400.000 ha atau sekitar 29,7% dari luas Israel saat ini (20.770 km2). Letak geografisnya di wilayah tengah, utara dan Negev Utara. Komoditas utamanya gandum, sorgun, jagung (mencapai ksiaran 215.000 ha). Dan berbagai jenis tanaman musim dingin seluas 156.000 ha. Tercatat, penduduk Israel yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 69.000 orang.

Sekali lagi, untuk misi pemusnahan total Israel, daerah pertanian haruslah menjadi target yang dilibas. Kiranya, tidaklah harus dengan rudal-rudal yang menghujani, tapi cukup dengan ratusan drone yang diterbangkan ke kantong-kantong pertanian Israel itu. Tentu, dronenya bermuatan zat kimia pemati tetumbuhan, sekaligus memandulkan humus-humus tanahnya. Keberhasilan menaklukkan daerah pertanian akan menjadi pelengkap dari agresi wilayah perkotaan dan pusat-pusat militer.

Perlu kita catat, dengan membatasi pasok pangan dan produksi pangan dalam negeri juga tak berdaya, maka akan kita saksikan kelaparan massif di tengah Israel. Di tengah kondisi kelaparan nasional Israel, kini perlu meniru strategis Israel yang menyetop bantuan pangan terhadap bangsa Palestina.

Strategi ini diperlukan, bukan anti kemanusiaan, tapi memaksa pemerintah Zionis menyerah (lempar handuk) dalam waktu lebih cepat. Tanpa totalitas penggempuran, termasuk blokade bantuan pangan dari sejumlah negara asing dan hal ini membuat kelaparan di mana-mana, kondisi ini bisa mendorong rakyat Israel menjadi barikade terdepan yang mendesak rezim Netanyahu untuk mundur. Pihak Knesset (parlemen) punya landasan politik untuk memproses amputasi rezim Netanyahu.

Di sanalah, Netanyahu akan jatuh. Dan tentu digantikan rezim yang pro kedamaian, yang memahami arti hidup secara berdampingan (co-existent). Rezim baru menjadi pintu masuk terbukanya dialog perdamaian Israel – Palestina. Dan dialog itu akan sejajar posisinya jika Palestina dalam status merdeka.

Itulah tiket kemerdekaan Palestina yang bisa diharapkan. Setelah Israel di bawah rezim baru menyerah. Menerima realitas kekalahan atas Iran. Juga, kemampuan mengalahkan ego sebagai anak bangsa yang merasa uber alles. Jadi, di tengah topografi politik dan karakter Yahudi yang tidak memungkinkan lempar handur, tapi masih ada keniscayaan. Sebuah keniscayaan yang sejatinya sarat dengan misi kemanusiaan dan kedaulatan negaranya. Persis yang ditunjukkan Jepang saat menghadapi dua bom Sekutu di Nagasaki dan Hiroshima tahu 1945 itu.

Kini saatnya, Israel perlu belajar terhadap berbagai bangsa dan negara lain. Tak ada yang uber alles. Selagi kecongkakan melampaui batas dan berbuat kerusakan massif dan ekstensif, pada akhirnya ada campur tangah Allah, sang Maha Digdaya. Kekuatan manusia hanyalah sebintik kotoran kecil di kuku.

Bekasi, 3 Juli 2025
Penulis: analis politik

 

 

*madjpu/ wi/ nf/ 040725

Views: 20

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *