
Oleh: Ridwan Umar
Direktur Lentera Keadilan Indonesia – LAKI
Niat Menteri Kebudayaan, Fadli Zon untuk melakukan penulisan ulang sejarah, tampaknya tak berjalan mulus. Lantaran, parlemen mencurigai ada alasan politis dibalik rencana itu. Kecurigaan itu menyusul adanya dugaan menghilangkan peristiwa pemerkosaan saat kerusuhan Mei 1998. Bahkan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P, Esti Wijayati dan anggota Komisi X juga dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends sampai menangis saat mendengar penjelasan Fadli Zon yang meragukan data dan informasi soal pemerkosaan massal ‘98’.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P pun mengungkap temuan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tentang fakta adanya korban pelecehan seksual saat itu di Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Menyaksikan adegan mengharukan itu, publik pun kagum dengan sikap parlemen khususnya PDI-P yang begitu keras memperjuangkan hak-hak korban dan keluarganya dalam kasus tersebut. Terlebih, kekerasan seksual tergolong pelanggaran HAM berat. Namun, disisi lain, publik juga mempertanyakan sikap mereka terkait kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya yang baru saja terjadi di depan mata. Jangankan menangis, suara mereka saja nyaris tak terdengar atau bungkam.
Kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan apa saja yang tak mampu menguras air mata parlemen?
Sebelumnya, mari kita coba pahami sekilas apa itu pelanggaran HAM.
Apa Itu HAM?
Dalam Islam, secara jelas dan tegas larangan berbuat zalim terhadap sesama manusia (pelanggaran HAM) apalagi sampai menghilangkan nyawa (membunuh) seseorang tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Salah satu ayat tentang hal itu disebutkan dalam Surah Al Isra Ayat 33. “Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa yang dibunuh secara teraniaya, sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya. Akan tetapi, janganlah dia (walinya itu) melampaui batas dalam pembunuhan (kisas). Seseungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Lantas, bagaimana dunia memandang soal pelanggaran HAM? Dalam Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, tertulis puluhan jenis bentuk HAM yang wajib dilindungi. Diantaranya, terlahir bebas dan diperlakukan sama, bebas dari intimidasi, hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan, kesetaraan dihadapan hukum, bebas dari penangkapan sewenang-wenang dan pengasingan.
Sementara, soal pelanggaran HAM berat tertuang dalam Undang-Undang RI No. 26 tahun 2000. Dalam UU ini, pelanggaran HAM berat terbagi dalam dua kategori, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama. Contohnya, penyiksaan fisik dan pembunuhan anggota kelompok.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Contohnya, pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok, dan penghilangan orang secara paksa.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Era Rejim Jokowi
Di era rejim Jokowi, terjadi banyak pelanggaran HAM termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia (AII), pembangunan ekonomi di era Jokowi dilakukan dengan mengorbankan HAM rakyat.
Diantara, tindakan pelanggaran HAM di era Jokowi dimaksud adalah peristiwa aksi warga dan mahasiswa di Kantor Gubernur Sumbar yang menolak PSN Kilang minyak dan petrokimia dengan luas konsesi 30 ribu hektar. Dalam peristiwa mulai 31 Juli hingga 5 Agustus 2023, sekitar 18 warga, mahasiswa dan aktivis ditangkap. Serta 4 jurnalis diintimidasi dan mengalami kekerasan.
Pada 7 September 2023, aparat Polda Kep. Riau melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat Pulau Rempang yang menolak PSN ‘Rempang Eco City’. Dalam peristiwa itu, 6 warga ditangkap dan puluhan lainnya luka-luka. Bahkan, ada ratusan siswa sekolah yang menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata aparat di sekolah.
AII mencatat selama Januari 2019 – Mei 2023 saja, setidaknya ada 44 serangan fisik dan digital. Serta 202 korban pembela HAM lingkungan dan masyarakat adat.
Di era kepemimpinan Jokowi juga terjadi kasus yang disorot dunia internasional, yakni kasus tewasnya 6 Laskar FPI di KM 50. Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan laporan bertajuk “2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia” Salah satu yang disorot adalah kasus KM 50. Kemenlu AS menganggap kasus itu merupakan perampasan nyawa secara sewenang-wenang dan pembunuhan melawan hukum bermotif politik.
Nah, berdasarkan data dan fakta tersebut, kini publik bertanya, mengapa parlemen tak meneteskan air mata terhadap kasus pelanggaran HAM berat khususnya kasus KM 50?
Apakah air mata para wakil rakyat yang terhormat itu hanya untuk kasus tertentu, sementara kasus pelanggaran HAM teranyar di depan mata dan saksi-saksi masih hidup tak menyentuh nuraninya? Kok parlemen di Tanah Air ini kalah dengan Negara lain yang secara lantang menyorot kasus KM 50 itu adalah sebuah kasus perampasan nyawa manusia secara sewenang-wenang (pelanggaran HAM berat)?
Ironisnya, pihak-pihak yang diduga terlibat dengan kasus KM 50 bebas berkeliaran bahkan ada diantaranya yang diberi kehormatan dengan kenaikan pangkat dan jabatan mentereng. Kok wakil rakyat tak menitikkan air mata bahkan bungkam?
Dan bagi anda para pelaku baik langsung maupun tidak serta yang melindunginya dalam kasus KM 50, Jika anda seorang muslim, maka ingatlah Qur’an Surah An-Nisa ayat 93.
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah (Neraka) Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Wallahualam bissawab.
(Tulisan ini digali dari berbagai sumber)
*wsu/ pjmi/ wi/ nf/ 060725
Views: 17