WARTAIDAMAN.com
“Baik, Ayah,” kata Sumaidah, lalu membalikkan badan dan kemudian dengan setengah berlari keluar rumah, menuju tempat Adi berada.
Sumaidah merasa perlu memberitahu Adi, kalau Ki Ning sudah setuju akan membagi ajian BuJin kepada Adi, asal Adi dapat mengambil serulingnya. Sumaidah pun tahu, kalau seruling Adi saat ini masih dipegang oleh salah satu dari para BuJin yang masih berkeliaran di sekitar rumah Ki Ning. Namun, karena perintah Ki Ning, Adi harus mengambil serulingnya, maka Sumaidah tidak mempunyai jalan lain, kecuali memberitahukan perintah itu kepada Adi.
“Paduka …,” kata Sumaidah, saat sudah berada di hadapan Adi.
“Ada apa, Sumaidah?” tanya Adi.
“Apakah Ayahmu mau membagi ajian BuJin kepadaku?” lanjut Adi.
“Begini, Paduka. Ayah hamba, Ki Ning, mau membagi ajian BuJin itu kepada Paduka. Akan tetapi …,” kata Sumaidah terputus, karena ragu akan melanjutkan, untuk memberitahu hal yang sebenarnya kepada Adi. Dia khawatir Adi tidak mau megikuti perintah Ki Ning.
“Tetapi, apa, Sumaidah? Jangan takut kepadaku. Katakan yang sejujurnya. Kalau memang ayahmu tidak mau membagi ajian BuJin itu kepadaku, maka kamu batal menjadi istriku,” kata Adi setengah mengancam sekaligus untuk mengetahui, kesungguhan Sumaidah untuk menjadi istrinya.
“Bukan begitu, Paduka. Ayah mau membagi ajian BuJin itu kepada Paduka, kalau Paduka dapat mengambil seruling Paduka.” Akhirnya kesampaian juga Sumaidah mengatakan perintah Ki Ning kepada Adi.
“Sumaidah, dengarkan aku!” seru Adi.
“Ya. Paduka,” jawab Sumaidah mulai bingung mendengar perkataan Adi yang mulai mengeras.
“Aku ini raja di Kerajaan Matraman Raya. Mana yang lebih berkuasa, aku atau ayahmu?” tanya Adi.
“Paduka,” jawab Sumaidah.
“Kalau begitu, bilang pada ayahmu. Bagi ajian BuJin kepadaku, atau aku pergi, dan tidak akan mengingatmu lagi!” seru Adi. Dalam hati ia sambil tertawa. Adi sengaja menggoda Sumaidah lagi.
Bagaimana bisa aku mengambil serulingku, yang sekarang ada di tangan salah satu BuJin itu? Ada-ada saja ayah Sumaidah ini mau menolakku. Biar tahu rasa dia, akan kuadu dengan anak gadisnya, yang kurasa sudah tertarik kepadaku, pikir Adi jahat.
“Ini … tidak mungkin Paduka … perintah Ayah harus dipatuhi Paduka …,” kata Sumaidah tergagap.
“Kalau begitu, kau tidak ingin menjadi istriku, Sumaidah,” tegas Adi, pura-pura.
“Baiklah, Paduka. Sumaidah akan mencoba memberitahu Ayah,” kata Sumaidah yang kemudian berjalan pelan menuju rumahnya.
“Bagaimana, Sumaidah? Apakah pemuda itu sanggup melaksanakan perintahku?” tanya Ki Ning.
“Ayah, apakah masih Ayah sayang kepada Sumaidah?” tanya Sumaidah.
“Masih, lah. Sepeninggal ibumu, hanya kamulah Sumaidah, yang membuat Ayah masih bersemangat dalam hidup ini, tapi, mengapa kamu tanyakan hal ini kepada Ayah, Sumaidah? Apakah karena pemuda itu, lalu kamu sekarang berubah. Tidak lagi patuh kepada ayahmu?” tanya Ki Ning, uring-uringan.
“Ayah, di rumah ini, siapa yang lebih berkuasa, Ayah atau pemuda itu?” tanya Sumaidah menyentak. Dia merasa harus mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah antara ayahnya dengan Adi, soal seruling dan tentu saja ajian BuJin itu.
“Berkuasa, katamu? Ayahlah yang lebih berkuasa di rumah ini, daripada pemuda itu. Sungguh itu pertanyaan yang bodoh. Jangankan di rumah ini, di daerah ini pun, ayahmu paling berkuasa. Tidak ada orang yang berani kepada ayahmu ini. Mereka takut terhadap serangan BuJin,” kata Ki Ning sombong.
“Kalau Ayah yang lebih berkuasa, mengapa bukan Ayah yang mengambil seruling itu? Mengapa Ayah menyuruh Adi mengambilnya dari tangan BuJin itu? Kalau Ayah masih sayang kepada Sumaidah, Ayah harus ambil seruling itu dan bagi ajian BuJin kepada Adi. Sumaidah ingin menjadi istri raja, Ayah.”
“Sumaidah tidak ingin hidup terus menerus di desa, hanya menemani Ayah saja. Tidak ada seorang pemuda pun yang berani mendekat kepada Sumaidah di sini. Mereka semua takut kepada Ayah. Apakah Ayah ingin Sumaidah begini selamanya? Membuat hati dan jiwa Sumaidah sengsara?” ratap Sumaidah.
“Astagfirullah, Sumaidah. Apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa sekarang bisa berubah menjadi seperti Ini? Umi … maafkan diriku ini. Sepertinya aku tidak mampu lagi menjaga anakmu, Sumaidah yang cantik ini. Dia sudah memilih akan hidup bersama orang lain … Umi … maafkan aku … Ki Ning kini … sungguh tak berguna … tidak mampu … menjalankan pesanmu … pesan terakhirmu … oh Umi … maafkan aku …,” ratap Ki Ning sambil beringsut dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Sumaidah, menuju ke halaman belakang rumah. Ki Ning kemudian menangis di sebuah pusara, di sana ada tertulis ebuah nama Umi Zahra. Tampak Ki Ning menangis sesenggukan di situ.
Melihat ayahnya bersedih karena perbuatannya, Sumaidah pun terdiam dan kemudian mengikuti langkah Ki Ning ke pusara almarhumah ibunya.
Sumaidah tahu persis, jika ayahnya bersedih, pasti akan mendatangi pusara almarhum ibunya. Ayahnya begitu mencintai ibunya dan Sumaidah tentu saja, bahkan menganggap dia sama cantik dengan ibunya. Hal itu membuat ayahnya begitu sayang dan menjaganya. Sesungguhnya Sumaidah merasa menyesal telah membuat ayahnya bersedih, karena kata-katanya yang kurang sopan. Namun, Sumaidah yakin, bahwa rasa cinta Ki Ning kepadanya akan membuat orang tua itu, tidak akan sungguh-sungguh marah kepadanya.
“Umi … hari ini … aku bukan saja … akan melepaskan … tanggung jawabku … kepada Sumaidah … anak kesayangan kita. Namun, aku juga harus membagi ajian BuJin, kehebatanku kepada anak muda yang dicintai Sumaidah. Maafkan aku … Umi …,” ratap Ki Ning sambil menunduk di depan pusara Umi Zahra.
Mendengar perkataan ayahnya, Sumaidah pun lalu memeluk punggung Ki Ning, lalu ikut menangis.
“Ayah, maafkan Sumaidah telah membuatmu menangis. Ambilkan seruling itu, Ayah. Sumaidah akan mengajak Ayah ke istana Adi. Sumaidah tidak ingin meninggalkan Ayah seorang diri di sini. Sumaidah akan selalu berbakti kepada Ayah. Ibu maafkan Sumaidah, tidak lagi dapat menemani setiap saat lagi. Sumaidah ingin hidup berbahagia, seperti ibu saat bersama Ayah. Maafkan Sumaidah, Ibu.”
“Sumaidah, kamu berjanji,” kata Ki Ning, sambil membalikkan badannya, lalu memegang pundak Sumaidah.
“Sumaidah berjanji, Ayah,” jawab Sumaidah.
“Akan kuambilkan seruling anak muda itu,” tegas Ki Ning.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Ayah,” sontak Sumaidah pun bahagia bukan main, “Sumaidah akan memberitahu Adi secepatnya, supaya dia tidak cepat-cepat pergi dari sini.”
I
“Paduka. Ayah sudah setuju kita menikah, tapi Sumaidah ingin membawa Ayah ke istana Paduka.”
“Membawa ayahmu ke istana? Mengapa kamu berani mengambil keputusan tanpa seizinku, Sumaidah? Apakah kamu akan melawanku, Raja Kerajaan Matraman Raya?” tanya Adi dengan gusar.
“Paduka, mengapa Paduka menjadi marah begini kepada Sumaidah? Apakah Paduka sebetulnya tidak serius kepada Sumaidah?” balas Sumaidah tidak kalah gusarnya.
Mendengar suara keras Sumaidah, Adi pun terkejut. Ternyata Sumaidah ini mempunyai sikap yang keras dalam memegang prinsip hidup. Dia tidak mempan diancam, walau oleh seorang raja seperti dirinya.
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ wi/ nf/ 281025
Views: 16












