Tiga Pendekar Langit _KLB_

Posted by : wartaidaman 30/09/2025

 

WARTAIDAMAN.com 

 

 

 

“Pendekar Seruling Sakti, berbuatlah sesukamu. Tapi kau tidak akan bisa mendapatkan hatiku. Kau hanya akan dapat tubuhku yang seperti guci!” seru gadis itu, setelah melihat kekuatan suara seruling itu membuat pakaiannya sobek-sobek dan satu demi satu bagian yang sobek itu tertiup angin. Gadis itu tampaknya telah mendengar tabiat buruk Pendekar Seruling Sakti. Namun, gadis itu tidak menunjukkan rasa takut kepada Pendekar Seruling Sakti. Gadis itu justru hanya memegangi guci yang berada didekatnya kuat-kuat.

“Gadis, berwajah tirus. Siapa namamu? Aku tidak ingin bertindak lebih jauh tanpa mengetahui dulu namamu!” seru Adi Pendekar Seruling Sakti.

“Namaku Khasano Lou. Orang sering menyebutku Putri Guci!” jawab gadis itu yang mengaku bernama Khasano Lou, Putri Guci.

“Mengapa kaupegang guci itu kuat-kuat? Apakah kamu tidak takut kalau seluruh bajumu sobek dan berterbangan?” seru Adi, Pendekar Seruling Sakti.

“Sudah kukatakan. Kau tidak akan mampu mendapatkan hatiku. Kau hanya akan mendapatkan tubuhku yang dingin seperti guci ini!” tegas Putri Guci.

Adi, Pendekar Seruling Sakti tertegun mendengar kata-kata Putri Guci.

‘Ibu selalu menyambut hangat terhadap keinginanku begitu juga dengan Putri Ming yang tubuhnya berkilau bagai batu pualam, tetapi gadis yang mengaku sebagai Putri Guci, justru mengancam hanya akan mendapatkan Putri Guci seperti Guci,’ pikir Adi.

‘Jangan-jangan Putri Guci ini sakti, bisa membuat tubuhnya dingin seperti guci. Bahaya juga, nih, bisa-bisa tenagaku bisa terserap tubuhnya.’ kata Adi dalam hati.

Belum lagi Adi sempat memutuskan akan bertindak lebih jauh atau menghindari Putri Guci, tiba-tiba bayangan GaZa mendatangi.

“Adi, bukankah kau sudah berjanji!” seru GaZa.

“Maaf, Adi lupa, Paman,” jawab Adi.

“Ayo, segera tinggalkan tempat ini!” seru GaZa.
Adi pun meninggalkan Putri Guci dan mengikuti GaZa menuju Istana Kerajaan Matraman Raya.
***

“Putri, aku lapar,” seru Abu Arang, saat dia mengetahui bahwa Putri Pambayun sedang mengintip dirinya dari jendela kamar yang ditempatinya.

“Hantu tak tahu malu!” seru Putri Pambayun. Akam tetapi, dia tetap pergi ke dapur.

Setelah mengambil menu sarapan pagi, Putri Pambayun membawanya ke kamar Abu Arang. Abu Arang pun makan dengan lahap hidangan sarapan yang dibawa Putri Pambayun. Namun setelah Abu Arang makan, dia kembali tidur. Luka akibat pukulan aji Bandung Bondowoso Danang Pendekar Langit, masih terasa sakit.

Begitulah yang dilakukan Abu Arang setiap hari. Namun, jika Abu Arang mendengar suara angin kuat yang mampu dirasakannya, Abu Arang melihat ke arah luar jendela. Abu Arang terkejut, ternyata Baginda Raja Armanda sedang menulis lafaz Allah di udara. Abu Arang pun mengingat-ingat gerakan Baginda Raja Armanda. Lalu Abu Arang mencoba melakukannya di kamar. Abu Arang semakin terkejut karena setelah Abu Arang berlatih gerakan Baginda Raja Armanda, badan Abu Arang menjadi terasa lebih enak. Tampak kondisi sakit Abu Arang semakin membaik. Abu Arang pun kembali tidur.
***

“Jalal, Tanjung, beri hormat kepada keponakanmu, Bupati Kediri, Bejo Cinekel!” seru Ki Ageng Batman.

“Jalal memberi hormat, Pak Bupati,” seru Jalal.

“Tanjung memberi hormat, Pak Bupati,” seru Tanjung.

“Ah, kedua Paman, jangan membuat Bejo segan. Biasa saja. Eyang Ageng juga tidak perlu begitu sekali dengan Paman Jalal dan Paman Tanjung. Walaupun usia mereka lebih muda dari Bejo, tapi mereka berdua adalah adik Ayahanda Raja Slamet,” seru Bupati Kediri Bejo Cinekel.

“Tidak apa-apa, Pak Bupati. Bagiamanapun mereka akan menjadi murid Pak Bupati.

Mereka harus taat dan patuh kepada guru hafiz Qur’an seperti Pak Bupati. Supaya ilmu yang diterimanya berkah. Insya Allah. Aamiin,” jelas Ki Ageng Batman.

Kedatangan Ki Ageng Batman bersama istri-istrinya —Miss Kiara dan Mbak 00 WeIBe— dan putra-putranya —Jalal dan Tanjung— memang bertujuan untuk mengantar Jalal dan Tanjung agar berguru kepada Bupati Kediri Bejo Cinekel. Bupati Kediri Bejo Cinekel adalah hafiz Qur’an. Ki Ageng Batman ingin Jalal dan Tanjung seperti Bupati Kediri, Bejo cinekel, yang sebetulnya masih cucu angkatnya itu.
Jalal dan Tanjung pun senang berada di Kediri, karena mereka berdua dapat mainan dengan menggoda bayi-bayi perempuan Putri Juwita dan Putri Lousina. Pada saat kedua putri Raja Slamet itu sedang digendong oleh Miss Kiara dan Mbak 00 WeIBe, terkadang untuk menggantikan posisi Mbak Ay Ming dan Miss Tami Zen biar bisa istirahat sekaligus masih merawat Raja Slamet yang belum tampak pulih betul lukanya.

Putri Selendang Biru pun senang dengan kedatangan keluarga Ki Ageng Batman. Dengan adanya Miss Kiara dan Mbak 00 WeIBe kesibukannya membantu mengasuh Putri Juwita dan Putri Lousina jadi berkurang. Namun, Putri Selendang Biru kemudian sering memberi pelajaran kedua pemuda Jalal dan Tanjung berlatih keseimbangan. Dengan senjata selendang birunya, Ayu, Putri Selendang Biru sering melatih Jalal dan Tanjung berjalan dengan sepeda beroda satu.

Jalal dan Tanjung disuruh berdiri dengan sepeda beroda satu. Putri Selendang Biru kemudian menyerang badan Jalal sehingga terlilit selendang biru, tetapi selendang biru dalam posisi kaku, lalu dari jauh badan Jalal ditarik pelan-pelan mendekati Putri Selendang Biru. Lama-lama selendang birunya dilepas, tentu saja Jalal lalu jatuh. Begitu seterusnya sampai lama-lama Jalal mampu mempertahankan keseimbangannya. Jalal pun lama-lama dapat berjalan dengan sepeda beroda satu. Begitu juga halnya Tanjung.
Suatu hari Putri Selendang Biru justru terkejut, ternyata Jalal dan Tanjung bukan hanya dapat berjalan dengan sepeda beroda satu, tetapi bahkan sudah mulai berjalan di atas tanah. Memang kejadian itu setelah Jalal dan Tanjung belajar mengaji kepada suaminya, Bupati Kediri, Bejo Cinekel.
***

Sesampai Desa Cemoro Lawang, desa terdekat ke Bromo, Danang dan rombongan melihat di ‘Padepokan Mangan Ra Mbayar’ terjadi dialog panas antara dua tokoh sakti yang menikmati kopi. Danang yang turun dari udara dengan menggendong Nabilla, Wahyudi menggendong Puja dan Bagus Tinukur mengikuti bingung dengan dialog kedua tokoh tersebut.

“Tiga pendekar, Mbah!” seru Panembahan Jati.

“Dua pendekar, Panembahan!” seru Mbah Kikuk.

“Ah, Mbah ini kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Sudah jelas tiga pendekar, kok, ya bilang hanya dua,” tambah Panembahan Jati.

“Panembahan yang ada udang di balik batu. Barangkali ada mau. Jelas-jelas hanya dua pendekar, kok bisa-bisanya bilang tiga,” kata Mbah Kikuk.

Mendengar perkataan kedua orang itu, Danang lalu mengambil inisiatif untuk masuk ke ‘Padepokan Mangan Ra Mbayar’, setelah menurunkan Nabilla dari gendongannya. Wahyudi pun mengikuti langkah Danang. Bagus Tinukur berjalan di belakang Nabilla dan Puja yang tentu saja mengikuti Danang dan Wahyudi.

“Assalamualaikum. Eyang berdua, boleh kami mengganggu,” seru Danang.

“Mbah ada tamu, tuh,” kata Panembahan Jati.

“Ada apa, ya, Panembahan. Kok, tumben ramai orang ke sini, hari ini,” jawab Mbah Kikuk kepada Panembahan Jati. Seolah Mbah Kikuk tidak tahu kalau tamunya adalah Danang. Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya yang hilang di hutan Mantingan.

“Oh, ya. Apa yang dapat kami bantu Ki Sanak?” kata Mbah Kikuk kepada Danang.

“Nah, kan, betul tiga pendekar, Mbah!” seru Panembahan Jati seolah tidak peduli datangnya Danang, Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya.

“Ah, nggak. Hanya dua pendekar, kok, Panembahan,” jawab Mbah Kikuk kembali berdebat dengan Panembahan Jati, seolah kedatangan Danang, Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya dan rombongan tidak penting bagi mereka.

Melihat ulah kedua orang tua tersebut, Danang langsung mengetahui kalau kedua orang ini adalah tokoh sakti. Baru-baru ini mereka berdua, Danang dan Bagus Tinukur memang sering memperkenalkan diri sebagai Pendekar Langit. Namun, jika kemudian kedua orang tua ini berdebat tentang dua atau tiga pendekar, itu berarti sebetulnya mereka berdua telah mengenal Danang dan Bagus Tinukur.

“Eyang, perkenalkan saya Danang, Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya,” seru Danang sekalian bermaksud memberitahu kepada kedua orang tua sakti itu, kalau dia adalah Raja Kerajaan Matraman Raya.

“KLB! Akan ada KLB, Mbah!” Tiba-tiba Panembahan Jati mengubah pembicaraan.

“KLB? KLB di mana, Panembahan?” tanya Mbah Kikuk.

“Di Matraman Raya!” tegas Panembahan Jati.

Danang semakin panas mendengar kedua tokoh ini tidak begitu peduli akan kedatangannya. Apalagi mereka membicarakan tentang KLB di Matraman Raya. Danang dan rombongan tidak tahu kalau kedua tokoh sakti ini yang membawa Bejo Cinekel menaklukan Raja Slamet saat masih kecil. Bejo Cinekel adalah ayahanda Bagus Tinukur. Namun, Bagus Tinukur juga tidak tahu peristiwa itu. Bejo Cinekel saja masih kecil, tentu saja Bagus Tinukur belum lahir.
Bukannya Danang yang tidak sabar melihat tingkah aneh kedua tokoh sakti itu, tetapi justru Bagus Tinukur yang menjadi tidak sabar.

“Eyang, kalau Eyang tidak menerima kami, maka akan saya datangkan hujan di daerah ini. Biar Eyang berhenti ngobrol berdua,” seru Bagus Tinukur.

“Nah, betul, ‘kan, Panembahan? Dua pendekar bukan tiga!” seru Mbah Kikuk.

“Tiga, Mbah!” tegas Panembahan.

“Baik, jangan katakan kami tidak sopan kepada Eyang berdua!” seru Bagus Tinukur yang segera bersiap akan menurunkan hujan.

 

 

oleh: MJK, jurnalis PJMI.

 

 

 

 

 

*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 300925

Views: 42

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *