
Foto: Pantauan udara kondisi banjir di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3). Foto : Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB
WARTAIDAMAN.com
JAKARTA,– Banjir besar yang kembali melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal Maret 2025 telah menyebabkan ribuan warga terdampak dan kerugian materiil yang signifikan.
Menanggapi situasi ini, Direktur Eksekutif Greenpress, Igg Maha Adi, menekankan bahwa peristiwa ini merupakan alarm keras bagi kebijakan tata ruang dan pengelolaan lingkungan di kawasan perkotaan.
“Banjir yang merendam ribuan rumah dan infrastruktur di Jabodetabek bukan hanya akibat cuaca ekstrem, tetapi juga bukti bahwa ekosistem perkotaan kita semakin tidak mampu menahan tekanan lingkungan. Urbanisasi yang masif, pengalihan fungsi lahan hijau, serta sistem drainase yang usang memperparah kondisi ini. Kita tidak bisa terus-menerus menganggap ini sebagai bencana alam belaka tanpa melihat faktor-faktor yang memperburuk dampaknya,” ujar Igg Maha Adi di Jakarta ketika merespon fenomena banjir yang merendam sejumlah wilayah di Jabodetabek (06/03/2025)..
Data terbaru menunjukkan bahwa di Jakarta, sedikitnya 105 rukun tetangga (RT) dan lima ruas jalan terdampak banjir hingga Selasa, 4 Maret 2025. Sementara itu, di Bekasi, ketinggian air mencapai tiga meter, merendam sedikitnya 140 unit rumah warga.
Total pengungsi di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur mencapai 1.229 jiwa yang tersebar di 11 lokasi pengungsian.
Sekretaris Jenderal Greenpress, Marwan Aziz, menambahkan bahwa kerugian ekonomi akibat banjir ini diperkirakan mencapai miliaran rupiah, mencakup kerusakan rumah, infrastruktur, dan terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat.
“Setiap tahun, kita menghadapi siklus kerugian yang sama akibat banjir. Sudah saatnya kita beralih ke pendekatan yang lebih proaktif dan berkelanjutan dalam penanganan masalah ini,” tuturnya Marwan.
Greenpress menawarkan beberapa solusi strategis untuk mengurangi risiko banjir di masa mendatang:
Pertama, Rehabilitasi Kawasan Resapan Air, Pemerintah daerah perlu meninjau kembali kebijakan alih fungsi lahan dan melakukan restorasi kawasan resapan air, seperti hutan kota, danau, serta ruang terbuka hijau yang semakin tergerus oleh pembangunan betonisasi.
Kedua, Revitalisasi Drainase dan Pengelolaan Air Hujan, teknologi drainase berbasis natural water retention harus diterapkan, seperti kolam retensi, sumur resapan, dan infrastruktur hijau yang mampu mengendalikan aliran air hujan sebelum mencapai permukiman warga.
Dan ketiga, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana, warga harus dilibatkan dalam skema mitigasi banjir berbasis komunitas, termasuk edukasi tentang pentingnya konservasi lingkungan dan sistem peringatan dini yang lebih efektif.
“Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan reaktif setiap kali banjir datang. Saatnya bergerak dengan kebijakan berbasis solusi jangka panjang agar kota-kota kita lebih tahan terhadap perubahan iklim,” tandasnya.***
*ma/ pjmi/ wi/ nf/ 060325