Mohammad Alfuniam
Direktur Kepesantrenan Eksternal
UNU Yogyakarta
*Pesantren di Simpang Zaman*
Pesantren, dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah penjaga moral peradaban, tempat di mana ilmu, adab, dan spiritualitas berjumpa dalam harmoni yang khas Nusantara.
Dari pesantrenlah lahir ulama-ulama yang tak hanya mengajarkan hukum-hukum fikih, tetapi juga menuntun masyarakat dalam laku kehidupan sehari-hari—sebuah model pendidikan yang tidak hanya mendidik dalam hal pengetahuan dan keilmuan ansich, tetapi juga menumbuhkan kekuatan jiwa dan kecerdasan spiritualitas.
Namun dunia kini berubah begitu cepat, disrupsi digital, krisis kemanusiaan, degradasi lingkungan, serta pergeseran nilai-nilai sosial menjadikan pesantren berada pada persimpangan zaman.
Di satu sisi, pesantren dituntut harus tetap menjaga tradisi keilmuannya yang telah terbukti selama berabad-abad dan di sisi lain, ia harus senantiasa menatap masa depan dan menjawab setiap tantangan zaman baru yang menuntut banyak keterampilan, seperti keterampilan digital, kolaborasi global, dan kepekaan ekologis.
*Pertanyaan reflektif pun muncul: Mampukah pesantren menjaga akar tradisinya tetap kuat sekaligus mengembangkan dahan dan daun pengetahuannya sesuai dengan perkembangan zaman supaya pesantren senantiasa menjadi mercusuar moral di tengah cepatnya perubahan sosial dan pesatnya kemajuan teknologi?*
Di sinilah gagasan “Pesantren 3 GO” lahir sebagai sebuah ikhtiar intelektual dan praksis untuk meneguhkan pesantren sebagai lembaga yang tetap menjaga tradisi sambil menjemput peradaban.
Pesantren tidak lagi cukup hanya menjadi benteng moral, tetapi juga harus menjadi penggerak transformasi sosial, digital, dan ekologis.
Saat ini sudah mulai banyak tumbuh pesantren-pesantren kekinian dengan model dan kurikulum yang lebih adaptif, terbuka dan merespon tuntutan dan perubahan zaman dengan arif dan solutif.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh KH. Sahal Mahfudh, “Pesantren tidak boleh puas hanya menjadi menara gading keilmuan, tetapi harus hadir dalam denyut kehidupan masyarakat.”[^1]
Kutipan ini seolah menjadi batu pijakan utama bahwa pesantren masa depan harus berdiri di atas dua kaki: tradisi dan tajdid (pembaruan)
*Jejak Historis dan Spirit Pesantren*
Dalam pandangan Gus Dur dan juga Zamakhsyari Dhofier, pesantren adalah subkultur Islam Indonesia yang memiliki struktur sosial dan sistem nilai yang khas.[^2]
Pesantren tidak lahir dari struktur kekuasaan formal, tetapi tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan bimbingan moral dan spiritual. Ia bersifat grassroots dan mengakar kuat pada tradisi lokal. Pesantren lahir, hidup dan berkembang tepat di tengah-tengah dan bersama masyarakat.
Sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20, pesantren memainkan peran sebagai pusat pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan sosial. Di tangan para kiai dan bu Nyai, pesantren menjadi ruang penggemblengan intelektual dan spiritual yang melahirkan kader-kader bangsa, dari pejuang kemerdekaan hingga pemikir pembaruan Islam.
Martin van Bruinessen menyebut pesantren sebagai “institusi yang paling orisinal dari Islam Nusantara,” karena berhasil mensintesiskan ajaran Islam dengan budaya lokal tanpa kehilangan keautentikannya.[^3]
Dan pesantrenlah institusi pendidikan asli Indonesia yang punya karakter dan kurikulum yang khas, tidak berubah-ubah sesuai selera kebijakan tertentu, namun kurikulumnya sudah baku dan paten sejak dulu karena memang sudah jelas tujuan dan orientasi filsafat pendidikannya yang sangat ideologis dan purna, tentang bagaimana membentuk pribadi insan yang saleh dan akram, meski juga adaptif merespon perubahan yang ada.
Saleh, cerdas secara sosial likulli zaman yang artinya punya kemampuan adatif dan inovatif sebagai khalifatullah yang punya tugas utama memakmurkan bumi sekaligus akram menjadi manusia mulia dihadapan sang pencipta sebagai abdullah yang senantiasa meningkatkan ketakwaan dalam ibadahnya.
Spirit inilah yang membuat pesantren tidak sekadar tempat belajar kitab kuning, melainkan ruang pembentukan watak dan karakter sosial.
Tradisi ta’dhim kepada guru, ngaji kitab klasik, serta laku riyadhah di pesantren melahirkan kepribadian yang rendah hati, mandiri, dan ikhlas mengabdi.
Dengan model asrama dan pendidikan 24 jam, santri dibentuk tidak hanya dalam pengetahuan, namun digembleng dan dibentuk karakternya melalui penanaman nilai-nilai yang dicontohkan oleh para kiai dalam kehidupan sehari-hari.
Pesantren bukan sekadar lembaga pengajaran dalam transmisi keilmuan saja, namun juga lembaga pendidikan/tarbiyah dalam hal penanaman nilai-nilai ahlak dan moral.
Pesantren tidak statis, seiring perubahan zaman, muncul gelombang modernisasi yang menuntut adaptasi. KH. Saifuddin Zuhri pernah mengingatkan, “Pesantren bukan menara gading; ia tumbuh bersama denyut masyarakat.”[^4]
Ungkapan ini menegaskan bahwa pesantren adalah bagian dari dinamika sosial bangsa—ia hidup bersama masyarakat, memberi arah moral, sekaligus menjadi laboratorium perubahan sosial.
*MENGGAGAS PESANTREN MASA DEPAN*
*Fondasi Pemikiran: Fiqh Sosial dan Tajdid*
Jika ditarik ke akar epistemologis, transformasi pesantren masa depan tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Kiai Sahal Mahfudh tentang Fiqh Sosial, yang salah satunya menyebutkan bahwa haram hukumnya yang namanya “mauquf”.
Dalam pandangan Kiai Sahal, fiqh tidak boleh berhenti sebagai teks hukum, melainkan harus menjadi etika sosial yang kontekstual dan menjiwai kehidupan umat.[^5]
Fiqh harus senantiasa dinamis dan berkembang, mesti mampu memberikan jawaban atas problem-problem sosial kemasyarakatan.
Jangan sampai masyarakat hidup tanpa hukum dan panduan fiqih hanya karena tidak mampu/berani memutuskan sebuah masalah, karena bagaimanapun juga setiap sikap dan laku manusia mesti ada dasar dan landasan hukumnya, meski akan berubah seiring perkembangan yang ada.
Melalui pendekatan fiqh sosial, pesantren diajak untuk beralih dari paradigma tafaqquh fid-din semata menuju tafaqquh fil hayah — yakni memahami agama tidak hanya dalam konteks teks, tetapi juga dalam konteks kehidupan, sehingga fiqh hidup dan berkembang seiring dengan perubahan zaman.
Menurut Kiai Sahal, hukum Islam harus berfungsi memecahkan persoalan sosial, bukan sekadar menjaga kemurnian teks. Maka, pesantren harus mampu membaca realitas dengan kacamata maqashid syariah: mencari kemaslahatan dan keadilan sosial.
Dalam konteks inilah, konsep tajdid (pembaruan) menemukan relevansinya. Tajdid bukan liberalisme, tetapi usaha sungguh-sungguh dalam menghidupkan nilai-nilai Islam agar tetap fungsional dan relevan dalam perubahan zaman.
Dalam tradisi pesantren melalui bahtsul masail fiqh harus terus hidup dan berkembang, pesantren perlu melakukan adaptasi sekaligus inovasi, dengan membahas isu-isu kekinian dan masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat, mulai dari permasalah ekologi lingkungan, perkembangan teknologi dan berbagai rekayasa ilmu modern bahkan sampai pada persoalan-persoalan sosial politik kebangsaan yang semakin mengkhawatirkan, seperti persoalan korupsi, tatakelola tambang, perubahan iklim, budaya hedon para pejabat dan aparat ditengah pemungutan pajak dan ketimpangan sosial ekonomi dan berbagai persoalan kebangsaan lainnya.
Pesantren melalui kemampuan penguasaan teks fiqhnya dalam hal konten yang dipadukan dengan kontektualisasi ilmu-ilmu mutaakhir baik mempelajarinya sendiri maupun dengan mengadirkan ahlinya, pesantren akan menjadi pusat kajian modern dalam menghadapi berbagai tuntutan, tantangan zaman untuk pengambilan kebijakan-kebijakan taktis dan strategis bagi para pengambil kebijakan bangsa ini.
Kiai Sahal pernah memberikan “dasar teologis” dan fiqh pemerintah ketika akan mengkampanyekan KB keluarga berencana misalkan, juga ketika zakat maal yang aturannya diberikan dalam bentuk uang beliau berani memutuskan boleh diberikan dalam bentuk alat produksi, ini beberapa contoh kecil ketika fiqh mampu dikontektualisasikan dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan.
Bahkan masih ada satu pendapat Kiai Sahal dalam hal lokalisasi perjudian dan prostitusi yang sampai saat ini pemerintah belum berani mengadaptasinya, sehingga soal bisnis judi dan prostitusi masih menjadi momok dan bebam sosial masyarakat kita sampai sekarang, padahal ada dasar dan hukumnya jika mau ditertibkan sebagaiman gagagasan Kiai Sahal, yang pasti dengan syarat dan rukun tertentu.
Dengan dasar konsep epistemologi fiqh sosial inilah, konsep Pesantren Masa Depan dengan nilai-nilai 3 GO menjadi semacam peta jalan pembaruan: bagaimana pesantren mampu menyeimbangkan tradisi keilmuan klasik dengan tuntutan perbahan zaman.
*Konsep Pesantren Masa Depan dengan nilai-nilai 3 GO*
*A. Go Digital – Melintasi Dunia Baru*
Era digital bukan sekadar fenomena teknologi; ia telah mengubah cara manusia berpikir, berinteraksi, dan belajar. Di sinilah tantangan terbesar pesantren: bagaimana hadir di ruang digital tanpa kehilangan ruh dan akar spiritualnya.
Pesantren masa depan harus melakukan transformasi digital, bukan hanya dengan memiliki perangkat teknologi, tetapi juga memaknai ulang cara belajar, mengajar, dan berdakwah.
Kita sudah melihat beberapa pesantren mulai mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang ada, seperti dalam tatakelola pesantren melalui aplikasi, e-learning, digitalisasi kitab kuning, dan media dakwah berbasis konten kreatif.
Namun lebih dari itu, digitalisasi pesantren harus diarahkan pada penguatan literasi kritis dan etika digital, sehingga pemanfaatan teknologi menjadi pelengkap dan bisa lebih menjadikan efektif dan efisien dalam sistem dan operasional pesantren bukan malah menggerus nilai-nilai tradisi yang sudah ada.
Sebagaimana sering diingatkan oleh para kiai muda, “Santri masa depan adalah mereka yang bisa menulis kitab di gawai tanpa kehilangan adab di hadapan guru.”
Digitalisasi pesantren bukan hanya tentang tools, tetapi mindset. Santri harus dibekali kemampuan berpikir algoritmik, literasi data, hingga etika bermedia. Dunia digital bisa menjadi medan dakwah baru, sekaligus ladang jihad intelektual.
*B. Go Humanity – Menghadirkan Nilai Kemanusiaan*
Pesantren sejak awal berdiri adalah lembaga kemanusiaan. Kiai Bu Nyai dan santri hidup berdampingan dengan rakyat kecil, membantu saat bencana, menjadi penengah dalam konflik sosial, serta mengajarkan nilai-nilai rahmah dan keadilan.
Pesantren sejak awal, dengan kapasitas dan kemampuan kiai dan nyai yg alim dan terdidik, menjadi semacam “sosial broker” dan menjaga masyarakat dari setiap tantangan dan nilai-nilai liyan yang datang, sehingga masyarakat bisa terjaga dari kontaminasi nilai-nilai yang tidak perlu. Ibaratnya pesantren/kiai/nyai menjadi “penyaring” mana yang baik dan dibutuhkan oleh masyarakat dan mana yang tidak.
Maka, pesantren masa depan harus memperkuat peran ini sebagai markaz insaniyah — pusat kemanusiaan yang aktif membangun solidaritas sosial.
Dalam konteks ini, pesantren perlu menghidupkan nilai moderasi beragama (wasathiyah), inklusif, menguatkan dialog lintas iman, dan menumbuhkan kesadaran hak asasi manusia dalam bingkai nilai Islam.
Termasuk memberikan ruang kepada kelompok difabel bjsa mengakses dengan nyaman, sehingga pesantren benar-benar menjadi rumah bersama yang ramah kepada semua pihak.
Gagasan ini sejalan dengan semangat Gus Dur, yang memandang pesantren sebagai kekuatan budaya yang inklusif. Bagi Gus Dur, “Pesantren harus menggerakkan tradisi, bukan sekadar menjaganya.”[^6]
Pesantren tidak boleh terjebak dalam nostalgia masa lalu, tetapi harus menjadi motor peradaban yang menghargai kemanusiaan dan pluralitas.
“Go Humanity” berarti menegaskan pesantren sebagai lembaga yang saleh sekaligus solutif — melahirkan santri yang peduli terhadap kemiskinan, ketimpangan sosial, diskriminasi, dan isu kemanusiaan global.
Dengan demikian, pesantren menjadi agen perubahan sosial yang menjembatani antara spiritualitas dan solidaritas sosial.
*C. Go Sustainability – Menyemai Keberlanjutan*
Salah satu tantangan besar umat manusia hari ini adalah krisis ekologis. Islam memandang alam sebagai ayat Tuhan yang harus dijaga. Maka pesantren masa depan perlu hadir sebagai green community, lembaga yang menanamkan kesadaran ekologis sebagai bagian dari iman.
Banyak pesantren kini mulai mengembangkan pertanian organik, energi terbarukan, dan ekonomi hijau melalui koperasi santri dan unit usaha berbasis lingkungan. Langkah ini bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga ekspresi spiritualitas ekologis.
Pesantren juga dapat menjadi pusat eco-literacy — tempat belajar tentang keberlanjutan dari perspektif teologi Islam.
Seperti ditegaskan dalam konsep ekoteologi Islam, menjaga bumi bukan sekadar tindakan sosial, tetapi ibadah ekologis yang memuliakan Sang Pencipta.
“Go Sustainability” menjadikan pesantren bukan hanya tempat pendidikan, tetapi laboratorium kehidupan berkelanjutan — tempat di mana santri belajar hidup selaras dengan alam, mandiri pangan, dan beretika terhadap bumi, karena bagaimanapun juga eksistensi pesantren bahkan juga manusia tergantung kepada keberlangsungan bumi. Jika bumi rusak, maka akan rusaklah segala apa yang ada di dalamnya. Maka wajiblah hukumnya menjaga keberlangsungan bumi untuk masa depan umat manusia.
Pesantren dengan berbagai potensinya mesti mampu memaksimalkan potensi dirinya diberbagai bidang, eksistensinya yang selama ini mandiri, bisa semakin kuat untuk menjaga sejarah keberadaannya, sehingga tidak tergantung dengan pihak lain, karena bagaimanapun juga dengan tradisi yang kuat, ekonomi yang mapan maka pesantren akan punya kemandirian “politis” dalam arti tidak menjadi “komoditas politik” musiman serta menjadi partisan kelompok tertentu.
Hanya dengan kemandirian dalam hal tradisi, ekonomi dan politiklah pesantren akan terus dan tetap bertahan menatap masa depan.
*Dari Tradisi Menuju Peradaban*
Konsep Pesantren 3 GO pada hakikatnya adalah jembatan antara tradisi dan peradaban. Ia bukan proyek modernisasi yang memutus akar tradisi, tetapi gerakan kebudayaan yang menumbuhkan ranting baru dari pohon tradisi, biar lebih menjulang tinggi. Kokoh dalam nilai-nilai akar tradisi sebagai prinsip dan ideologi serta jauh menjulang tinggi memberikan manfaat bagi kehidupan dan responsif terhadap setiap perubahan zaman, sehingga pesantren tepat berada di tengah perubahan sejarah kehidupan dan tidak hanya menjadi penonton yang ada dipinggir sejarah peradaban.
Jika Kiai Sahal Mahfudh mendayung pemikiran Islam antara liberalisme dan fundamentalisme melalui fiqih sosialnya, maka pesantren masa depan mendayung antara tradisi dan tuntutan perubahan zaman.
Pesanten mesti mampu menjaga keseimbangan keduanya biar tidak oleng dan tenggelam ditelan zaman.
Pesantren tetap menjadi tempat ngaji, tetapi dengan literasi digital; tetap mengajarkan adab, tetapi dengan kesadaran global; tetap menanam padi, tetapi dengan konsep agroekologi modern dan seterusnya.
Dalam arah ini, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan pusat peradaban (center of civilization) — tempat bertemunya tradisi, spiritualitas, ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan teknologi.
Sebagaimana Gus Dur pernah mengatakan, “Pesantren tidak sedang melawan zaman, tetapi sedang menuntun zaman agar tetap bernurani.”
Kutipan ini menjadi refleksi mendalam: bahwa pesantren, dengan segala kesederhanaannya, justru menyimpan kekuatan untuk menjaga keseimbangan dunia yang semakin kehilangan arah.
*Penutup*
Tulisan ini sebagai sebuah pengantar atas rencana akan dibuatnya lembaga “Pusat Pesantren Masa Depan” di UNU Yogyakarta.
Pesantren masa depan bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan laboratorium nilai — tempat menguji gagasan Islam, kemanusiaan, dan keberlanjutan.
Konsep 3 GO (Go Digital, Go Humanity, Go Sustainability) adalah bentuk ikhtiar kreatif untuk menjadikan pesantren tetap relevan, progresif, dan inovatif di tengah derasnya arus modernitas.
Pesantren akan terus menjadi mercusuar moral bangsa, asalkan tidak berhenti pada tradisi, tetapi berani menjemput masa depan.
Dalam perjalanan panjang ini, pesantren harus terus menyalakan tiga api:
1. Api ilmu yang mencerahkan,
2. Api adab yang menenangkan,
3. Api amal yang menggerakkan.
Dari ketiganya akan lahir generasi santri masa depan — alim dalam ilmu, arif dalam digital, dan peduli terhadap keberlangsungan bumi dan masa depan.
*Daftar Pustaka & Catatan Kaki*
[^1]: KH. Sahal Mahfudh, Fiqh Sosial: Upaya Konkretisasi Syariat Islam dalam Kehidupan Masyarakat, LKiS, Yogyakarta, 1994.
[^2]: Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, Jakarta, 1982.
[^3]: Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1995.
[^4]: KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, Gunung Agung, Jakarta, 1985.
[^5]: Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, LKiS, Yogyakarta, 1997.
[^6]: Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, The Wahid Institute, Jakarta, 2006.
*sesa/ pjmi/ wi/ nf/ 171025
Views: 38











